Wednesday, December 3, 2014

Defisit Anggaran dan Subsidi Tepat Sasaran

Penilaian positif terhadap kebijakan Pengalihan Subsidi Bahan Bakar ke sektor lain yang lebih produktif perlu dikemukakan. Tentu saja hal ini berdasarkan asumsi saya secara pribadi karena sampai saat ini pemerintah belum terbuka terkait dengan Kebijakan yang dikeluarkannya. Terakhir Jokowi-JK memberikan keterangan yang sesungguhnya tidak menyentuh akar persoalan mengapa subsidi harus dicabut. Dua persoalan yang dikemukakan pada saat konfrensi pers kemarin adalah terbebaninya anggaran Negara dan Pengalihan subsidi untuk sektor yang produktif. Pernyataan yang sebenarnya kurang berkelas untuk ukuran seorang presiden .
Pengalihan Subsidi BBM ini merupakan buntut dari defisitnya Anggaran Pendapatan Negara sebesar Rp. 257 Triliun dari total pendapatan Negara sebesar Rp. 1.792 Triliun dengan Belanaja Negara sebesar Rp. 2.019 Triliun (Sumber: Nota keuangan dan RAPBN 2015. Pada intinya pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai belanja negara di semua sektor dan pada akhirnya subsidi energy yang mencapai Rp. 403 Triliun yang diantaranya Rp. 363 Triliun untuk BBM dan Gas 3 Kg akan dialihkan untuk membangun infrastruktur dasar, kesehatan pendidikan dll.
Masalah subsidi BBM pernah dikemukakan oleh jokowi dalam KTT APEC di Beijing China. Jokowi berkata "Nah, ini yang sering ditanyakan kepada saya. Bagaimana masalah subsidi BBM? Karena anggaran APBN kita totalnya ada USD 168 miliar dan USD 30 miliar-nya dipakai untuk subsidi. Ini kan besar sekali. Ini adalah pemborosan yang bertahun-tahun dibiarkan. Oleh sebab itu kita ingin di tahun ini kita ingin mengalihkan subsidi BBM itu kepada hal-hal yang produktif. Benih untuk petani, pupuk untuk petani, irigasi untuk desa, pembangunan waduk, pembangunan infrastruktur, mesin untuk mesin kapal untuk nelayan, mesin pendingin untuk nelayan. Ini yang akan kita kerjakan sehingga subsidi itu kepada subsidi sektor produktif, bukan untuk konsumtif."
Menurut survey yang dilakukan oleh World Economic Forum terhadap 131 negara bahwa kendala investasi yang paling Utama disebabkan oleh buruknya infrastruktur dan disusul oleh birokrasi yang tidak efisien (Sumber : tulus tambun, daya saing indonesia dalam menarik investasi asing). Pasca krisis 98 Indonesia masih belum diminati oleh investor asing untuk menanamkan modalnya didalam negeri karena maslah infrastruktur yang buruk. Bahkan negara kita menempati posisi terakhir dibawah Philipina di kawasan ASEAN Sebagai negara paling buruk infrastrukturnya.
Sehingga Apa yang dikatakan oleh jokowi di beijing nampaknya hanya sekedar untuk meyakinkan para pemodal asing bahwa negara kita berkomitmen untuk menyediakan infrastruktur yang baik. Sampai disini kita menjadi mengerti. Namun turunnya harga Minyak dunia memberikan pukulan telak bagi Negara-negara maju pengekspor minyak. Turunnya harga minyak dunia menyebabkan keuntungan yang bisa didapat dari hasil penjualan minyak menjadi turun. Artinya dana yang bisa dikeluarkan untuk investasi dinegara kita terbatas. Pemerintah perlu bekerja keras dan lebih hati-hati karena investor yang mencoba masuk ke Negara kita bisa saja tidak semuanya memiliki modal. Untuk itulah dana pengalihan subsidi energi ini dibutuhkan. Sementara itu didalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang mengatur penaman modal yang diikuti oleh peraturan presiden No. 29 tahun 2014 Tentang Bidang usaha yang tertutup Dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal diatur bidang mana saja yang boleh dimasuki pemodal asing. Contohnya saja di sektor perhubungan hampir semua sektor diperuntukan bagi pemodal asing dengan syarat kepemilikan saham 49%-60%. Disektor energi seperti jasa pengeboran laut disyaratkan kepemilikan sahamnya maksimal 75%. Dari sini kita mengerti bahwa pemerintah membutuhkan Dana patungan untuk membangun infrastruktur sebesar 60% lebih. Apalagi pemerintahan Jokowi-JK memiliki program untuk membangun sektor kelautan dengan konsep Tol Lautnya.
Namun, pertanyaan kita bukan disitu. Tapi lebih Pada angka hitungan yang diberikan pemerintah mematok kenaikan harga BBM sebesar 2rb rupiah. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya peningkatan subsidi energi tersebut adalah perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional. Masyarakat menjadi bertanya-tanya mengapa nilai tukar dolar yang stabil serta harga minyak dunia sedang turun, pemerintah justru mematok kenaikan yang terlalu besar. Jokowi juga dinilai terlalu terburu-buru mengingat usia pemerintahannya tergolong Baru.







Sementara itu setidaknya beberapa orang menggunakan alasan diatas seperti Pada gambar, mengapa Harga BBM harus naik. Namun alasan tetaplah alasan. Jika tidak masuk logika tidak bisa digunakan. Dikatakan bahwa negara kita bukan negara minyak Dan tidak mengekspor minyak lagi. Jikalau benar, lantas mengapa sumur minyak kita yang kaya diserahkan kepada asing untuk dikelola? Abraham samad saja mengatakan bahwa ketika kita bisa melakukan nasionalisasi terhadap sumur minyak besar yang kita miliki seperti Blok Cepu, Blok Mahakam dan Blok Madura maka kita akan mendapatkan dana yang cukup untuk mensejahterkaan masyarakat kita. "Kalau kita nasionalisasi sekitar 60 persen saham tiga blok itu dan sumur-sumur minyak kita lainnya, pertahun kita bisa mendapat Rp 7.200 triliun," Ujarnya (Republika). Angka yang sangat fantastis yang bisa digunakan untuk membangun infrastruktur kita tanpa harus mencabut subsidi BBM yang hanya sebesar Rp. 363 triliun.
Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa subsidi BBM dinikmati oleh mobil pribadi padahal kalau kita lihat pertumbuhan kendaraan bermotor dari tahun 2013-2014 sepeda motor menjadi penyumbang kenaikan sebesar 11 % atau naik sekitar 8,498 Juta Motor pertahun. Disusul dengan mobil naik sebesar 11 % atau naik sebesar 8,470 Juta dan yang terakhir adalah kendaraan barang naik sebesar 9 % dan bus hanya naik sebesar 1 %. Dari sini kita bisa melihat bahwa pengguna kendaraan bermotor terdiri dari kalangan kecil dan menengah, kalangan atas dan pelaku bisnis atau dunia usaha. Sehingga sangat kurang tepat apabila subsidi BBM dikatakan dinikmati oleh mobil pribadi yang notabene merupakan kalangan atas. Sehingga yang akan sangat terpukul dengan kebijakan mencabut subsidi BBM ini adalah Rakyat Kecil dan Pelaku dunia usaha. Kenaikan harga BBM akan berdampak pada naiknya harga pokok penjualan yang mengakibatkan mahalnya harga barang di pasaran yang harus dibeli oleh masyarakat.
Selain itu sikap membanding-bandingan Negara kita dengan Negara lain sangat kurang tepat apalagi dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang atau australia. Pasalnya Negara kita memilik kondisi yang sangat berbeda terutama dalam hal pertumbuhan ekonominya dengan Negara lain. Apabila dilihat dari pendapatan perkapita pada tahun 2014 mencapai $ 4.000 sangat jauh dengan pendapatan Negara-negara maju seperti AS yang pada tahun 2009 saja sudah mencapai $ 46.000 per tahun. Walaupun jumlah penduduk mempengaruhi besarnya pendapatan perkapita, tetapi tetap saja daya beli masyarakat kita yang rendah tidak bisa dipungkiri. Namun sangat disayangkan sekali ketika Rakyat yang justru selalu jadi objek penderita. Rakyat kita dibilang terlalu Boros energi padahal pemerintah yang tidak bisa mengendalikan laju pertumbuhan kendaraan bermotor. Apalagi Mobil dengan konsep LCGC telah ditandatangani. Rakyat kita dibilang terlalu manja sedikit-sedikit naik Mobil atau motor padahal pemerintah kita belum punya konsep untuk membangun sarana transportasi publik yang layak selain itu melakukan perjalanan dengan berjalan kaki cenderung tidak aman. Alasannya karena tidak tersedianya sarana khusus untuk pejalan kaki yang memadai dan juga banyak tempat yang rawan terjadi tindak kriminalitas.
Dengan kondisi seperti ini pemerintah dinilai tidak peka terhadap kondisi Masyarakat kita. Dengan cara yang serampangan, kebijakan yang dikeluarkan oleh Jokowi-Jk tidak menguntungkan rakyat kita. Seandainya saja jokowi memenuhi janjinya untuk membentuk kabinet yang ramping, tentu saja akan menguntungkan keuangan negara kita mengingat secara teknis akan terjadi efisiensi dalam penggunaan anggaran operasional Dan menghilangan Hambatan birokasi yang selama ini menghambat masuknya investasi dari luar. Efisiensi ini sedikit demi sedikit mengurangi defisit APBN kita.
Kita tidak membutuhkan pemimpin yang sekedar cerdas atau sekedar memukiki itikad baik. Semua orang meyakini banyak sekali opsi yang bisa diambil. Masalah kita adalah karena defisit anggaran bukan subsidi tidak tepat sasaran. Jikalau masalah kita adalah pendapatan kita lebih kecil daripada pengeluaran maka yang harusnya dilakukan adalah memaksimalkan pendapatan negara kita baik dari sektor pajak maupun bukan pajak. Artinya realisasi penerimaan pajak harus mencapai 100 %. Disektor migas pemerintah harus mendorong memaksimalkan produksi minyak dan gas dalam negeri. Selain itu perlu juga ditekankan pencapaian target dari pemasukan royalti, deviden dan bagian hasil dari usaha BUMN. Pilihannya bisa jadi ada dua yaitu renegoisasi kontrak kerja dengan perusahaan asing atau nasionalisasi asset milik negara.
Saya yakin bahwa tim ahli dibelakang jokowi bukan kumpulan orang-orang sembarangan. Tapi sekali lagi kita tidak butuh orang-orang yang sekedar cerdas tapi tidak memiliki itikad baik dan tidak mungkin dari sekian banyak Tim ahli menteri ekonomi atapun staf khusus Presiden tidak memiliki pemikiran yang berbeda.
Tulisan ini hanya sebatas pandangan saya secara pribadi. Tetapi tidak salah Sebagai seorang awam yang memberikan pandangan terhadap situasi politik Dan ekonomi negara kita.