Monday, October 28, 2013

Media dan Jatuhnya Wibawa Institusi Negara

Berita buruk adalah berita bagus yang dicari oleh banyak orang. Maka tidaklah mengherankan apabila di berbagai macam media setiap harinya kita disuguhi tayangan yang tidak sesuai denga kepatutan. Tindak kriminalitas, pertikaian, korupsi menjadi headline di setiap surat kabar. Orag-orng mengatakan "Bad news is good news". Mungkin karena sudah menjadi tabiat masyarakat kita yang lebih menyukai hal-hal yang semacam itu dan kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang menjual informasi sebagai komoditas. Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita, apakah negara kita sudah benar-benar rusak. Tidak adakah satu informasi yang bisa membangun optimisme untuk membangkitkan semangat kita membangun negeri ini. Sajian yang tidak bermutu sangatlah merusak bahkan cenderung berbahaya. Namun yang lebih berbahaya lagi apabila komoditas itu diberjual belikan oleh mereka yang berkepentingan. Tidak mengherankan apabila media menjadi lahan bisnis
yang menggiurkan karena selain bisa meraup keuntungan dari informasi yang dijual sekaligus bisa dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang memangku kepentingan.

Belakangan ini secara maraton kita disuguhi oleh tayangan berita seperti sebuah sandiwara opera sabun atau telenovela. Para pejabat pemerintah dan kader politik partai saling sahut menyahut ditangkap oleh KPK. Dari kasus century, hambalang suap daging impor dan yang terakhir adalah tentang kasus Ketua MK AM yang ditangkap karena kasus suap. KPK kini menjadi satu-satunya institusi yang paling bersih. Bukan karena sekedar usaha namun karena propaganda media yang berperan membumikan lembaga anti rasuah ini sebagai lembaga terbersih. Pemberitaan tentang KPK di kemas secara cantik bahkan tidak jarang membuat kita terbuai. Sorotan tajam lampu kamera ternyata membuat kita lupa bahwa KPK telah gagal untuk mengusut kasus-kasus besar korupsi terutama kasus century dan hambalang. Banyak kasus-kasus besar yang dipeti es-kan dan kasus yang sudah ditangani entah ujungnya kemana.

Terlepas dari prasangka kita terhadap media dan KPK yang sudah dijadikan sebagai alat, kedua pihak ini memiliki andil yang cukup besar atas jatuhnya wibawa institusi milik negara. Bagaimana tidak, gegap gempita pemberitaan pemberantasan korupsi oleh media menjatuhkan moral dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga milik pemerintah dan partai politik. Alih-alih menjalankan fungsinya sebagai bagian dari pilar demokrasi, media justru membunuh karakter setiap orang yang masuk menjadi anggota partai dan meruntuhkan pilar demokrasi itu sendiri. Apa yang dibuat oleh media seolah-olah berlaku secara umum dan menjustifikasi bahwa setiap partai politik itu pasti korup, pemerintahan sudah bobrok dan negara sudah rusak. Alhasil tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu turun drastis skaligus mendongkrak persentase golput ditanah air. Tidaklah mengherankan apabila dimasa orde baru pemerintah memiliki peranan besar dalam mengontrol media massa karena pengawasan yang kuat terhadap media pemerintah bisa menjamin opini yang berkembang dimasyarakat sekaligus menjadikan media sebagai alat pemerintah. Kali ini aparat penegak hukum juga perlu bekerja lebih keras untuk mengembalikan citra dan kepercayaan masyarakat. Hukum tidak bisa ditegakkan selama masyarakat belum memberikan kerelaan pada aparat penegak hukum untuk menjadi pengadil. Kita sudah sama-sama menyaksikan bagaimana rakyat selalu merasa tidak puas dengan segala keputusa pengadilan. Dibanyak kasus disetiap akhir putusan pengadilan selalu diwarnai dengan kekisruhan dan tidak jarang hakim menjadi korban amuk massa dan tidak jarang pula hakim merubah putusan dibawah tekanan dan ancaman.

Mungkin kini sudah saatnya kita memiliki media alternatif yang menyampaikan informasi apa adanya. Bukan media yang terpengaruh oleh para pemilik modal. Media yang mampu menyaingi media arus utama dengan menyampaikan berita sesuai fakta dan eksklusif serta berimbang. Termasuk didalamnya membentuk individu-individu yang memiliki karakter jurnalistik yang jujur dan visioner serta mengedepankan etika. Dengan begitu peran media akan kembali pada fungsi sebagai agen of change yang sesungguhnya.

Saturday, October 5, 2013

Jangan Memancing di Air yang Keruh

Tahun ini adalah tahun politik bagi semua partai politik dinegara kita. Bagaimana tidak, tahun depan mereka akan menghadapi agenda besar pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan presiden. Berbagai cara sudah mulai dilakukan termasuk melakukan seleksi calon presiden dan wakilnya yang akan diusung. Tidak ketinggalan juga partai politik berbasis islam turut meramaikan agenda lima tahunan ini. Wacana membentuk koalisi partai islam pun digulirkan. Dikalangan umat islam sendiri masih terdapat perbedaan sikap terkait dengan sistem politik berbiaya tinggi ini. Terutama bagi mereka yang menolak demokrasi yang katanya system kufur yang tidak berlandaskan syar'i. Namun sebagian lagi mencoba menikmatinya. Terlalu kecil apabila kekuasaan menjadi tujuan utama karena menjadi RI 1 hanya sebatas 5 thun saja dan kekuasaan pun hanya ada di tangan kita selama itu pula. Ini bukan hanya persoalan merebut kekuasaan namun ini persoalan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera membangun ekonomi yang mandiri dan membentuk masyarakat yang madani. Dalam pribahasa sunda ada pepatah yang mengatakan "Caina herang laukna beunang" kalau diterjemahkan airnya bening ikannya kena. Ikan akan mudah ditangkap apabia kondisi airnya jernih dan tenang sekalipun tanpa kail dan jala. Itulah yang coba kita bangun melalui system demokrasi membangun situasi negara yang stabil dan kondusif. Membentuk pemerintahan yang islami itu harus dimulai dari pembentukan individu individu yang memiliki karakter yang islami pula dan hal itu hanya bisa dilakukan apabila kondisi lingkungan sekitar dalam keadaan yang kondusif. Coba kita bayangkan ketika negara kita masih dalam kekuasaan militer. Kegiatan kegiatan keagamaan diawasi dengan ketat sampai keakar akarnya. lalu kita bandingkan dengan kondisi sekarang. Media-media islam menjamur diman-mana termasuk mereka yang menolak demokrasi bebas mencaci siapapun. Berbagai macam kegiatan keagamaan bisa kita selenggarakan dimanapun dan kapan pun. Bukankah dulu kita belajar dari rosulullah ketika perjanjian hudaibiyah. Umat Islam mendapatkan kebermanfaatan dari perjanjian yang dilakukan dengan kafir quraish selama sepuluh tahun. lalu apa bedanya dengan sekarang yang nyatanya kita bemusyawarah dengan sesama muslim sendiri dan kita mendapatkan manfaat dari itu selama 15 tahun reformasi. Atau sudah lupakah kita dengan piagam madinah yang mencoba untuk mempersatukan umat islam dan membuat perjanjian damai dengan kaum yahudi. Jika tidak seperti itu mungkin islam tidak akan pernah sampai hingga dataran eropa karena energi mereka habis untuk perang saudara. Begitulah seharusnya kita memandang demokrasi. Demokrasi bukanlah tujuan tapi hanya sebatas sarana karena menegakan khilafah itu masih harus menempuh jalan yang panjang. Tidak berdemokrasi tapi tidak ada aksi hanya bisa mencaci.