Friday, August 21, 2009

NORMALISASI KONDISI KAMPUS DALAM KONTEKS KEKINIAN

Oleh : Misbahurrohim

Belum hilang dari ingatan kita ketika dulu pada masa Orde Baru berkuasa, soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai presiden ternyata menyadari bahwasanya mahasiswa memiliki kekuatan yang sangat luar biasa untuk mengoyang pemerintahannya pasca pemilu 1977. Dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi yang dikenal dengan NKK/BKK, rezim yang berkuasa pada saat itu mencoba untuk memandulkan gerakan mahasiswa dengan melarang organisasi tingkat universitas yang senantiasa menjadi motor pergerakan. Pihak rektorat yang menjadi kepanjang tangan pemerintah pada saat itu dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa yang terlalu over bersikap kritis. Pemerintah melalui Pihak rektorat mencoba mengarahkan mahasiswa agar kembali kebangku perkuliahan dan segala bentuk mobilisasi masa ke jalan-jalan dianggap suatu hal yang tidak wajar. Setelah organisasi kemahasiswaan tingkat Universitas dilarang, pergerakan mahasiswa terkonsentrasi di kantung-kantung Himpunan tingkat jurusan walaupun dirasa pergerakan mereka tidak lagi masif seperti dulu.
Lain dulu lain sekarang, sikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan pemerintahan kampus maupun pemerintahan Negeri ini tidak lagi dibatasi. Dengan bekal dan perlindungan dari paham demokrasi, setiap orang diberikan kebebasan untuk mengekspresikan segala bentuk kekecewaannya terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Terlepas dari itu nampaknya hari ini kita harus mulai bersikap hati-hati kembali ketika hari ini birokrasi kampus senantiasa ikut turut campur dalam segala bentuk kegiatan kemahasiswaan. Kita juga harus senantiasa waspada ketika pihak pengelola lembaga kampus senantiasa melakukan intervensi terhadap konsep kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa. Kebanyakan orang berpikir bahwa itu sebagai suatu hal yang wajar karena fungsi lembaga adalah mengawasi jalanya kegiatan kemahasiswaan agar senantiasa berada dalam koridor yang tepat dan kegiatan yang dilakukan diupayakan mendukung ketercapaan tujuan yang sangat diinginkan oleh pihak universitas. Hari ini sepertinya kita perlu berikir lebih jauh atas apa yang pemerintahan elit kampus lakukan pada hari. Siapa tahu ada sekenario besar yang sedang disiapkan untuk memberantas habis gerakan mahasiswa yang kian hari kian memanas. Dan perlu kita sadari bahwasanya hari ini kita memasuk kembali suatu masa dimana kampus dijadikan suatu kawasan yang steril dan kondusif meskipun pola-pola yang digunakan tidak lagi represif dan cenderung halus. Kebijakan yang tak kasat mata sering kali bermain dan tangan-tangan tak mampak berada dibalik pergerakan mahasiswa yang tidak lagi murni. Dengan kata lain kita memasuki normalisasi kondisi kampus dengan format dan gaya baru.
Contoh kasus beberapa waktu yang lalu kita masih ingat ketika rektor Universitas Pendidikan Indonesi melaui direktorat kemahasiswaan mengeluarkan surat keputusan dengan memberlakukan jam malam dan melarang mahasiswa menjalankan aktifitas dimalam hari. Padahal malam hari merupakan waktu yang paling tepat bagi seorang mahasiswa untuk mengembangkan kreatifitas berpikir setelah menghabiskan waktu di siang hari dengan aktifitas-aktifitas akademik. Dan sungguh sangat di sayangkan ketika itu justru Universitas mengadakan kegiatan dimalam hari yang bekerjasama dengan Televisi swasra. Tidak lama setelah itu kesekertariatan mahasiswa di sentralkan di Pusat Kegiatan Mahasiswa dimana disana juga mahasiswa hanya bisa menggunakan fasilitas sekretariat kemahasiswaan hingga sore hari. Fasilitas yang terlalu berlebihana bisa juga dijadikan sebagai indikator dimana dengan fasilitas yang diberikan oleh lembaga, mahasiswa merasa dimanjakan dan tentunya hal ini dapat mengurangi kekritisan terhadap segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah khususnya rektorat. Bahkan dengan adanya beasiswa yang diberikan kepada sejumlah aktifis setidaknya dapat melunturkan idealism yang dimiliki. Kita akan mengangap lembaga telah berjasa karena telah meberikan cukup bantuan kepada mahasiswa. Sehingga kini mahasiswa seakan-akan melupakan peran dan funsinya sebagai agen perubah yang seharusnya bisa peka terhadap kondisi disekitarnya
Apabila dilihat dari sisi akademis nampaknya hal yang sama juga telah terjadi. Kurikulum akademik yang dibuat sangat padat dan mengharapkan mahasiswa lulus tepat waktu, menghambat seorang mahasiswa untuk aktif berorganisasi. Biaya perkuliahan yang sangat tinggi membuat kebanyakan mahasiswa berpikir ulang dan tidak mau mensibukan dirinya dengan aktifitas kemahasiswaan yang juga sangat padat. Paradigma mahasiswa yang akademis sering kali digulirkan jauh-jauh hari sebelum mahasiswa baru memasuki awal perkuliahan. Contohnya saja kegiatan penerimaan mahasiswa baru di UPI yang dikenal dengan nama MIMOSA dibuat dengan konsep tiga hari. Tentunya kegiatan itu segaja dikonsep dengan dipadati oleh materi-materi kelembagaan yang sifatnya mengarahkan mahasiswa baru ke sisi akademis dan mengurangi muatan-muatan pergerakan mahasiswa disana.
Sungguh sangat disayangkan ketika sebagian besar mahasiswa tidak menyadari akan hal itu. Sikap apatis terhadap kebijakan rektorat lebih dikedepankan bahkan cenderung berada dalam satu barisan kendati kebijakan tersebut masih dipertanyakan dan hal yang sungguh sangat memprihatinkan ketika sesama mahasiswa berada dalam kubu yang berbeda. Pihak birokrasi merasa aman sekarang karena mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengkritisi kebijakan kampus disibukan dengan urusannya masing-masing dengan sesama mahasiswa itu sendiri.
Untuk itu Himbauan kepada seluruh aktifis pergerakan mahasiswa agar senantiasa waspada terhadap segala bentuk dan upaya yang dilakukan untuk memperlemah pergerakan mahasiswa. Dan tanamkanlah rasa takut dalam diri kita ketika kita meningalkan generasi yang lemah setelah kepergian kita. Generasi yang tidak mampu berbuat banyak ketika kemungkaran berada di hadapan kita. Generasi lemah yang tunduk terhadap penguasa otoriter. Generasi yang dihasilkan dari berbagai upaya untuk membangun sebuah kampus yang steril dan kondusif serta jauh dari nilai-nilai politik.

Saturday, August 8, 2009

MENUMBUHKAN SENSE OF CRISIS SEBAGAI SALAH SATU UPAYA UNTUK MENSIKAPI KURANG OPTIMALNYA PELAYANAN KEMAHASISWAAN

Kebanyakan diantara kita ternyata telah terjebak dalam dimensi ruang dan waktu yang membuat kita lupa akan fungsi dan peran kita sebagai seorang mahasiswa. Padatnya aktivitas kita sehari-hari menyebabkan kita tidak bisa meluangkan waktu untuk sekedar menyapa tetangga disamping kiri dan kanan rumah kita. Akibat dari begitu banyaknya tugas-tugas rumah yang harus dikerjakan menyebabkan kita tidak bisa menyempatkan waktu walau sekedar untuk menyaksikan berita di televisi ataupun mendengarkan radio. Bahkan rutinitas kita sehari-hari ternyata menyebabkan kita tidak bisa melakukan hal-hal lain diluar kebiasaan kita. Seingga kita lupa ada hal besar yang harus kita lakukan yaitu perubahan.
Tanpa kita sadari ternyata begitu banyak permasalahan yang terjadi diisekitar kita dan tanpa disadari pula kita telah menganggap permasalahan tersebut merupakan hal yang biasa atau bahkan permasalahan tersebut seolah-olah bukan sebuah per masalahan yang harus diselesaikan. Sehingga banyak hak-hak yang sebenarnya telah menjadi milik kita atau pun teman-teman kita namun kita abaikan.
Mulai saat ini coba kita renungi hal-hal yang terjadi disekeliling kita (khususnya dilingkukangan kampus) dari yang sifatnya kecil menyangkut diri sendiri sampai pada hal-hal yang sifatnya besar menyangkut hajat hidup orang banyak dan kadang kala hal-hal itu dapat kita temukan melalui pertanyaan-pertanyaan sederahana. Misalkan :
• seberapa sering dosen salah satu mata kuliah anda tidak masuk? Apakah itu bukan masalah?
• Apakah kualitas pengjaran yang diberikan sudah sebanding denga besarnya dana yang sudah anda keluarkan? Apakah itu bukan masalah?
• Seberapa sering anda menjalankan praktikum mata kuliah? Padahal setiap tahun anda mengluarkan dana untuk biaya praktikum? Apakah itu bukan masalah?
• Bagaimana dengan Fasilitas Kebersihan? Pernahkah anda melihat tong samph di sudut-sudut? Apakah itu bukan masalah?
• Sudah tersediakah Fasilitas untuk pejalan kaki? Bagaimana dengan mahasiswa berkebutuhan khusus? Apakah itu bukan masalah?
• tahukah anda berapa banyak mahasiswa baru dan mahasiswa lama yang meminta penangguhan? Apakah itu bukan masalah?
• Bagaimana dengan kejelasan regulasi beasiswa? Ketika anda menjadi orang yang berhak mendapatkannya tetapi justru yang berkecukupan yang diberikan? Apakah itu bukan masalah?
• Bagaimana dengan pelayanan akademik? Apakah itu bukan masalah?
• Bagai mana dengan pengelolaan jas almamater oleh rektorat?
• Bagaimana Kejelasan informasi tentang berbagai macam hal? Sudahkah anda puas?
• Gedung-gedung megah berdiri, dan kini Isola Heritage sedang dibangun. Disaat pelayanan tidak optimal tapi pembangunan dikampus tetap berjalan? Apakah itu bukan masalah?.

Ketika pertanyaan-pertanyaan diatas lepas dari benak kita, maka hal itu menandakan kita tidak lagi berpikir kritis.
Kebanyakan diantara kita ternyata telah terjebak dalam dimensi ruang dan waktu yang membuat kita lupa akan fungsi dan peran kita sebagai seorang mahasiswa. Padatnya aktivitas kita sehari-hari menyebabkan kita tidak bisa meluangkan waktu untuk sekedar menyapa tetangga disamping kiri dan kanan rumah kita. Akibat dari begitu banyaknya tugas-tugas rumah yang harus dikerjakan menyebabkan kita tidak bisa menyempatkan waktu walau sekedar untuk menyaksikan berita di televisi ataupun mendengarkan radio. Bahkan rutinitas kita sehari-hari ternyata menyebabkan kita tidak bisa melakukan hal-hal lain diluar kebiasaan kita. Seingga kita lupa ada hal besar yang harus kita lakukan yaitu perubahan.
Tanpa kita sadari ternyata begitu banyak permasalahan yang terjadi diisekitar kita dan tanpa disadari pula kita telah menganggap permasalahan tersebut merupakan hal yang biasa atau bahkan permasalahan tersebut seolah-olah bukan sebuah per masalahan yang harus diselesaikan. Sehingga banyak hak-hak yang sebenarnya telah menjadi milik kita atau pun teman-teman kita namun kita abaikan.
Mulai saat ini coba kita renungi hal-hal yang terjadi disekeliling kita (khususnya dilingkukangan kampus) dari yang sifatnya kecil menyangkut diri sendiri sampai pada hal-hal yang sifatnya besar menyangkut hajat hidup orang banyak dan kadang kala hal-hal itu dapat kita temukan melalui pertanyaan-pertanyaan sederahana. Misalkan :
• seberapa sering dosen salah satu mata kuliah anda tidak masuk? Apakah itu bukan masalah?
• Apakah kualitas pengjaran yang diberikan sudah sebanding denga besarnya dana yang sudah anda keluarkan? Apakah itu bukan masalah?
• Seberapa sering anda menjalankan praktikum mata kuliah? Padahal setiap tahun anda mengluarkan dana untuk biaya praktikum? Apakah itu bukan masalah?
• Bagaimana dengan Fasilitas Kebersihan? Pernahkah anda melihat tong samph di sudut-sudut? Apakah itu bukan masalah?
• Sudah tersediakah Fasilitas untuk pejalan kaki? Bagaimana dengan mahasiswa berkebutuhan khusus? Apakah itu bukan masalah?
• tahukah anda berapa banyak mahasiswa baru dan mahasiswa lama yang meminta penangguhan? Apakah itu bukan masalah?
• Bagaimana dengan kejelasan regulasi beasiswa? Ketika anda menjadi orang yang berhak mendapatkannya tetapi justru yang berkecukupan yang diberikan? Apakah itu bukan masalah?
• Bagaimana dengan pelayanan akademik? Apakah itu bukan masalah?
• Bagai mana dengan pengelolaan jas almamater oleh rektorat?
• Bagaimana Kejelasan informasi tentang berbagai macam hal? Sudahkah anda puas?
• Gedung-gedung megah berdiri, dan kini Isola Heritage sedang dibangun. Disaat pelayanan tidak optimal tapi pembangunan dikampus tetap berjalan? Apakah itu bukan masalah?.

Ketika pertanyaan-pertanyaan diatas lepas dari benak kita, maka hal itu menandakan kita tidak lagi berpikir kritis.

MEWUJUDKAN KAMPUS PEDULI PENDIDIKAN

Oleh : Misbahurrohim

Kamis, 30 Juli 2008 lima orang mahasiswa baru jalur PMDK akhirnya bisa melakukan registrasi ke Bank padahal beberapa waktu yang silam ke lima mahasiswa baru ini terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena tidak bisa memenuhi biaya perkuliahan yang dirasa cukup memberatkan. Dengan berbekal semangat untuk menuntut ilmu mereka datang ke bandung untuk memperjuang hak mereka untuk mendapatkan pendidikan. Bukan bantuan dana yang mereka inginkan tapi perpanjangan masa pembayaran registrasi kalau memang UPI belum mampu memberikan bantuan fnansial. Kini kita tingggal menunggu sampai mereka terdaftar secara resmi setelah melakukan registrasi akademik tanggal 6 Agustus nanti.

Apabila berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, penyelesaian kasus mahasiswa jalur PMDK pada tahun ini sedikit berbeda. Tidak seperti kasus tahun sebelumnya ketika 14 orang mahasiswa yang diterima dari jalur SNMPTN 2008 tidak mendapatkan perhatian serius dari rektorat. Sampai-sampai pada waktu itu mahasiswa harus turun tangan ikut membantu dengan melakukan penggalangan dana untuk menutupi kekurangan biaya masuk perkuliahan bahkan mobilisasi masa pun sempat dilakukan untuk mengajukan tuntutan kepada pihak rektorat. Seperti halnya yang dikatakan oleh salah seorang pejabat elit kampus, tanpa perasaan bersalah dia mengatakan “harusnya mahasiswa yang mencarikan dana bantuan untuk mahasiswa yang kurang mampu”.

Birokrasi kampus pada saat ini cenderung bersikap terbuka terhadap kelima orang mahasiswa jalur PMDK ini walaupun sempat awal mulaya sempat dilempar kesana kemari, tetapi kini bahkan mereka dijanjikan untuk mendapatkan beasiswa walaupun statusnya belum menjadi mahasiswa. Beasiswa untuk mahasiswa baru jalur SNMPTN pun telah disediakan wlaupun jumlahnya terbatas. Entah ini mungkin merupakan salah satu cara untuk meredam pergerakan mahasiswa pada saat ini atau murni sebagai salah satu bentuk kepedulian mereka dalam rangka pemerataan kesempatan pendidikan. Tapi yang jelas aksi masa yang sempat dirancanakan oleh BEM REMA UPI urung di jalankan karena Direktur kemahasiswaan melalui pernyataannya secara tertulis menjanjikan bantuan itu.

Pihak Universitas pada tahun ini bersedia mengalokasikan dana beasiswa yang diambil dari anggaran universitas untuk membantu mahasiswa baru jalur PMDK dan SNMPTN yang tidak mampu membayar biaya masuk perkuliahan. Hal ini sebagai tindak lanjut UPI atas banyaknya keluhan mahasiswa baru yang tidak mampu membayar uang masuk seperti yang dikatakan oleh direktur kemahasiswaan cecep darmawan (Pikiran Rakyat, 31/7/2009). Sungguh sangat disayangkan bahwasanya birokrasi kampus baru menyadari akan hal ini sehingga bersedia memberikan beasiswa padahal kasus seperti ini berulang kali terjadi setiap tahunnya. Sebenarnya hanya satu hal yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu kemauan dari penentu kebijakan untuk memperhatikan permasalahan yang ada secara serius. Andai saja rektorat memiliki kemauan sejak dulu untuk menangani kasus-kasus seperti ini secara serius mungkin permasalahan ini dapat terselesaikan sejak dulu dan tidak berulang tahun-tahun berikutnya.

Mengkritisi kembali tulisan yang dimuat dalam surat kabar tersebut, sebenarnya informasi ini tidak perlu dimuat di media cetak. Kalau dipikirkan kembali justru tulisan ini memperburuk citra lembaga karena selama ini UPI menutup akses bagi mereka yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bukan maksud kami berburuk sangka tapi seakan-akan tulisan itu dimuat untuk menunjukan pada hal layak umum bahwa UPI memiliki perhatian lebih dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Ibarat seorang pahlawan yang datang ditengah-tengah masyarakat yang mengalami kesulitan sang Robinhood datang membawa secercah harapan.

Perlu kita sadari bahwasanya keluhan-keluhan itu akan semakin banyak dan terus bertambah ketika kebijakan kampus yang diterapkan oleh para birokrat tidak pernah berpihak pada rakyat kecil. Kalau hari ini mereka mau beritikad baik maka kita akan senantiasa menunggu agar UPI menerapkan Sistem biaya pendidikan berkeadalilan untuk mahasiswa yang secara ekonomi mengalami keterbatasan. (2/8/2009)

DEPARTEMEN ADVOKASI

BEM REMA UPI

PERIODE 2009