Wednesday, November 6, 2013

Refleksi Hijriah 1435 H

Beberapa hari yang lalu kita sudah melewati satu peristiwa penting yang menjadi titik balik perjuangan bangsa ini melawan penjajahan yaitu peristiwa sumpah pemuda. peristiwa ini dijadikan sebuah momentum untuk membangkitkan kembali semangat berkebangsaan melalui refleksi diri atas komitmen kebangsaan yang dibangun oleh para pemuda kala itu. Harapannya adalah kita bisa membentuk para pemuda yang sama-sama memiliki komitmen untuk menjadi satu bagian dalam berbangsa dan bernegara.

Bagi kita tentunya ada satu momentum yang begitu luar biasa yang mampu mengalahkan momen sumpah pemuda dan momentum kepahlawanan lainnya. Suatu momentum yang memberikan kesadaran pada kita. Bukan hanya kesadaran berkebangsaan dan bernegara saja tapi juga kesadaran akan peran kita sebagai manusia yang diciptakan dan dilahirkan kedunia.

Ratusan tahun yang lalu khalifah Umarin Khatab membuat kebijakan untuk menentukan metode penanggalan yangsama untuk seluruh wilayah yang masuk dalam pemerintahannya karena ia merasa bahwa perbedaan penanggalan disetiap daerah bisa menghambat kebijakan yang ia buat. Penanggalan ini didasarkan pada peristiwa penting yang menjadi tonggak penting kebangkitan Islam. Ialah peristiwa hijrah Rosulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Sekali lagi, setiap orang membutuhkan momentum yang tepat menuju satu perubahan. Pergantian tahun merupakan satu momentum perubahan individu, masyarakat dan negara menuju kebangkitan umat. Allah SWT berfirman :

"Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh manusia kepada yang ma'ruf dan mencegah kepada yang mungkar dan beriman kepada Allah "(Ali 'Imran : 110).

Ayat diatas merupakan salah satu bahan untuk kita renungi bahwa Dia telah menentukan kriteria golongan manusia yang dikehendaki olehNya. yaitu beriman, mengajak kepada hal yang baik dan mencegah orang lain untuk berbuat mungkar. Iman berkaitan dengan perkara bagaimana kita memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas individu dimana pada nantinya akan lahir kader-kader terbaik. Hal mendasar sebagai bagian dari perbaikan diri adalah memiliki aqidah yang lurus, beribadah dengan benar. memiliki ahlak yang kuat, wawasan berfikir yang luas dan jasmani yang sehat.
Pristiwa hijrah memberikan banyak arti bagi kita. Pada waktu itu Rosulullah SAW telah berhasil meletakkan pondasi yang kuat sebagai modal dasar untuk membentuk generasi terbaik dan pondasi itu adalah aqidah yang kuat tertanam dalam hati kaum muslimin yang mendorong terbentuknya hal mendasar lainnya.

Kaum muslimin memasuki fase baru pada saat berada dimadinah fase ini kita sebut sebagai fase kebangsaan dimana disinilah terbentuk pemerintahan Islam pertama.Kebangsaan yang kita pahami disini bukanlah seperti kebangsaan yang mereka fahami melalui sumpah pemuda dan nasionalisme yang kita pahami bukanlah nasionalisme sempit. Tanah air kita terbentang luas dari timur ke barat sehingga dimana saja dilafadzkan kalimat Allah maka tanah tersebut adalah tanah air kaum muslimin dan setiap jengkalnya harus terbebas dari penjajahan.
Menyadari keagungan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad maka konsep Amar maruf nahi munkar harus dikuatkan. Maka tidaklah mengherankan apabila Islam hampir menguasai seperempat bagian wilayah dunia sampai jatuhnya kekuasaan turki utsmani. Hal ini terwujud ketika tiga kriteria tadi terpenuhi. Perpaduan antara iman dan amar maruf nahyi munkar dapat mewujudkan kebangkitan ummat . Menurut mustafa mansyur mengatakan

"Tujuan dari memperbaiki diri adalah melahirkan kader-kader aqidah yang ideal, sedangkan menyeru orang lain bertujuan untuk memperbanyak golongan mukminin yang benar, yang satu sama lainnya saling bersaudara dan berkasih sayang, yang memiliki dasar keimanan yang kokoh yang dijadikan dasar bangunan Islam yang tinggi, yang menjelmakan kebenaran dan menghapuskan kebathilan karena kaum muslimin menjadi pemimpin dunia dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat dan akhirnya janji Allah menjadi suatu kenyataan yang disaksikan oleh manusia."

Mungkin sebagian dari kita lupa sehingga lebih banyak orang membangun spiritualitas pribadi padahal Membangun kesolehan pribadi seharusnya berimplikasi terhadap kesolehan sosial. Allah SWT sudah mengingatkan

"......sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati dalam kebaikan dan saling menasihati dalam kesabaran." (Al-'asr 2-3)


Oleh karena itu yang menjadi concern kita pada saat refleksi akhir tahun ini adalah sudahkah kita menjadi umat yang terbaik?

Monday, October 28, 2013

Media dan Jatuhnya Wibawa Institusi Negara

Berita buruk adalah berita bagus yang dicari oleh banyak orang. Maka tidaklah mengherankan apabila di berbagai macam media setiap harinya kita disuguhi tayangan yang tidak sesuai denga kepatutan. Tindak kriminalitas, pertikaian, korupsi menjadi headline di setiap surat kabar. Orag-orng mengatakan "Bad news is good news". Mungkin karena sudah menjadi tabiat masyarakat kita yang lebih menyukai hal-hal yang semacam itu dan kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang menjual informasi sebagai komoditas. Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita, apakah negara kita sudah benar-benar rusak. Tidak adakah satu informasi yang bisa membangun optimisme untuk membangkitkan semangat kita membangun negeri ini. Sajian yang tidak bermutu sangatlah merusak bahkan cenderung berbahaya. Namun yang lebih berbahaya lagi apabila komoditas itu diberjual belikan oleh mereka yang berkepentingan. Tidak mengherankan apabila media menjadi lahan bisnis
yang menggiurkan karena selain bisa meraup keuntungan dari informasi yang dijual sekaligus bisa dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang memangku kepentingan.

Belakangan ini secara maraton kita disuguhi oleh tayangan berita seperti sebuah sandiwara opera sabun atau telenovela. Para pejabat pemerintah dan kader politik partai saling sahut menyahut ditangkap oleh KPK. Dari kasus century, hambalang suap daging impor dan yang terakhir adalah tentang kasus Ketua MK AM yang ditangkap karena kasus suap. KPK kini menjadi satu-satunya institusi yang paling bersih. Bukan karena sekedar usaha namun karena propaganda media yang berperan membumikan lembaga anti rasuah ini sebagai lembaga terbersih. Pemberitaan tentang KPK di kemas secara cantik bahkan tidak jarang membuat kita terbuai. Sorotan tajam lampu kamera ternyata membuat kita lupa bahwa KPK telah gagal untuk mengusut kasus-kasus besar korupsi terutama kasus century dan hambalang. Banyak kasus-kasus besar yang dipeti es-kan dan kasus yang sudah ditangani entah ujungnya kemana.

Terlepas dari prasangka kita terhadap media dan KPK yang sudah dijadikan sebagai alat, kedua pihak ini memiliki andil yang cukup besar atas jatuhnya wibawa institusi milik negara. Bagaimana tidak, gegap gempita pemberitaan pemberantasan korupsi oleh media menjatuhkan moral dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga milik pemerintah dan partai politik. Alih-alih menjalankan fungsinya sebagai bagian dari pilar demokrasi, media justru membunuh karakter setiap orang yang masuk menjadi anggota partai dan meruntuhkan pilar demokrasi itu sendiri. Apa yang dibuat oleh media seolah-olah berlaku secara umum dan menjustifikasi bahwa setiap partai politik itu pasti korup, pemerintahan sudah bobrok dan negara sudah rusak. Alhasil tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu turun drastis skaligus mendongkrak persentase golput ditanah air. Tidaklah mengherankan apabila dimasa orde baru pemerintah memiliki peranan besar dalam mengontrol media massa karena pengawasan yang kuat terhadap media pemerintah bisa menjamin opini yang berkembang dimasyarakat sekaligus menjadikan media sebagai alat pemerintah. Kali ini aparat penegak hukum juga perlu bekerja lebih keras untuk mengembalikan citra dan kepercayaan masyarakat. Hukum tidak bisa ditegakkan selama masyarakat belum memberikan kerelaan pada aparat penegak hukum untuk menjadi pengadil. Kita sudah sama-sama menyaksikan bagaimana rakyat selalu merasa tidak puas dengan segala keputusa pengadilan. Dibanyak kasus disetiap akhir putusan pengadilan selalu diwarnai dengan kekisruhan dan tidak jarang hakim menjadi korban amuk massa dan tidak jarang pula hakim merubah putusan dibawah tekanan dan ancaman.

Mungkin kini sudah saatnya kita memiliki media alternatif yang menyampaikan informasi apa adanya. Bukan media yang terpengaruh oleh para pemilik modal. Media yang mampu menyaingi media arus utama dengan menyampaikan berita sesuai fakta dan eksklusif serta berimbang. Termasuk didalamnya membentuk individu-individu yang memiliki karakter jurnalistik yang jujur dan visioner serta mengedepankan etika. Dengan begitu peran media akan kembali pada fungsi sebagai agen of change yang sesungguhnya.

Saturday, October 5, 2013

Jangan Memancing di Air yang Keruh

Tahun ini adalah tahun politik bagi semua partai politik dinegara kita. Bagaimana tidak, tahun depan mereka akan menghadapi agenda besar pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan presiden. Berbagai cara sudah mulai dilakukan termasuk melakukan seleksi calon presiden dan wakilnya yang akan diusung. Tidak ketinggalan juga partai politik berbasis islam turut meramaikan agenda lima tahunan ini. Wacana membentuk koalisi partai islam pun digulirkan. Dikalangan umat islam sendiri masih terdapat perbedaan sikap terkait dengan sistem politik berbiaya tinggi ini. Terutama bagi mereka yang menolak demokrasi yang katanya system kufur yang tidak berlandaskan syar'i. Namun sebagian lagi mencoba menikmatinya. Terlalu kecil apabila kekuasaan menjadi tujuan utama karena menjadi RI 1 hanya sebatas 5 thun saja dan kekuasaan pun hanya ada di tangan kita selama itu pula. Ini bukan hanya persoalan merebut kekuasaan namun ini persoalan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera membangun ekonomi yang mandiri dan membentuk masyarakat yang madani. Dalam pribahasa sunda ada pepatah yang mengatakan "Caina herang laukna beunang" kalau diterjemahkan airnya bening ikannya kena. Ikan akan mudah ditangkap apabia kondisi airnya jernih dan tenang sekalipun tanpa kail dan jala. Itulah yang coba kita bangun melalui system demokrasi membangun situasi negara yang stabil dan kondusif. Membentuk pemerintahan yang islami itu harus dimulai dari pembentukan individu individu yang memiliki karakter yang islami pula dan hal itu hanya bisa dilakukan apabila kondisi lingkungan sekitar dalam keadaan yang kondusif. Coba kita bayangkan ketika negara kita masih dalam kekuasaan militer. Kegiatan kegiatan keagamaan diawasi dengan ketat sampai keakar akarnya. lalu kita bandingkan dengan kondisi sekarang. Media-media islam menjamur diman-mana termasuk mereka yang menolak demokrasi bebas mencaci siapapun. Berbagai macam kegiatan keagamaan bisa kita selenggarakan dimanapun dan kapan pun. Bukankah dulu kita belajar dari rosulullah ketika perjanjian hudaibiyah. Umat Islam mendapatkan kebermanfaatan dari perjanjian yang dilakukan dengan kafir quraish selama sepuluh tahun. lalu apa bedanya dengan sekarang yang nyatanya kita bemusyawarah dengan sesama muslim sendiri dan kita mendapatkan manfaat dari itu selama 15 tahun reformasi. Atau sudah lupakah kita dengan piagam madinah yang mencoba untuk mempersatukan umat islam dan membuat perjanjian damai dengan kaum yahudi. Jika tidak seperti itu mungkin islam tidak akan pernah sampai hingga dataran eropa karena energi mereka habis untuk perang saudara. Begitulah seharusnya kita memandang demokrasi. Demokrasi bukanlah tujuan tapi hanya sebatas sarana karena menegakan khilafah itu masih harus menempuh jalan yang panjang. Tidak berdemokrasi tapi tidak ada aksi hanya bisa mencaci.

Monday, July 22, 2013

Mengatur Negara

Menjelang Ramadhan setidaknya ada 2 isu sentral yang menghangat. Yaitu, Dilarangnya sedekah secara lagsung kepada pengemis dan larangan untuk melakukan sweeping tempat-tempat hiburan malam. Poin yang kedua mungkin lebih banyak muncul keperrmukaan apalagi mengingat dibulan suci Ramadhan banyak Ormas Islam yang kerap kali melakukan aksi sweeping. Mengingat hal itu tentu UU Ormas menjadi sangat Urgen untuk disahkan. Terakhir kali adalah yang terjadi di Kendal ketika salah satu ormas terlibat bentrok dengan massa lainnya dan mendapatkan perhatian serius dari presiden SBY yang mengatakan bahwa ia tidak bisa mentolerir akan hal itu. Menguatnya RUU Ormas untuk di sahkan karena Negara membutuhkan landasn untuk mengendalikan ormas yang kerap kali meresahkan. Pemerintah uberhak melakukan tindakan apapugaran. Mulai dari penghentian pendanaan sampai penghentian kegiatan ormas atau dengan kata lain dibekukan. Inilah sebenarnya yang diinginkan. Negara membutuhkan instrumen untuk mengatur ormas-orma
s yang ada. Seperti pendirian, hak dan kewajiban, pendanaan sanksi dan sebagainya. Namun yang dikhawatirkan adalah ketika regulasi ini hanya dijadikan alat untuk menutup daya kritis masyarakat. Terlepas dari adanya indikasi regulasi pesanan dari pihak-pihak yang berkepentingan, tidak bisa dipungkiri bahwa pemilik tempat-tempat hiburan malam membutuhkan rasa aman. Permasalahan sekarang adalah bukan bagaimana ormas-ormas tersebut diatur, tetapi semestinya negaralah yang harus diatur. Mengapa, karena semua persoalan ini berawal dari kegagalan negara menjalankan fungsi dan perannya. Negara gagal memberikan rasa aman, nyaman dan rasa tenang dalam hal ini adalah kepada Umat Islam, umat terbesar dinegara ini. Seandainya negara mau memfasilitasi mereka melalui produk undang-undang semua persolan ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Kita ambil saja contoh, di Kota Depok sudah diterbitkan perda tentang pelarangan penjualan miras di minimarket sekaligus melarang didirikannya minimarket dekat dengan tempat ibadah dan sekolah. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar tidak mudah mendapatkan miras terlebih bagi anak-anak sekolah. Coba kita perhatikan, bukankah kita akan merasa tenang ketika hal-hal semacam itu jauh dari kehidupan kita dan anak-anak kita dijauhkan dari hal-hal yang bisa merusak moral. Bukankah cukup sederhana? lalu kenapa negara tidak bisa menjamin hal semacam itu. Bukankah miras itu tidak dilarang secara menyeluruh? karena yang kami inginkan hanya miras itu di atur. walaupun dihati sanubari yang paling dalam yang kami inginkan barang haram itu hilang dari muka bumi. Kita tidak sedang membicarakan negara Turki yang melalui parlemennya sudah mengeluarkan regulasi untuk memperketat iklan dan penjualan miras. Kita sedang membicarakan persoalan negeri dengan jumlah umat Islam terbesar ini. Terlepas dari benar atau tidaknya ormas yang melakukan tindak , bukan hanya mereka saja tapi negara pun perlu diatur agar kembali lagi pada peran dan fungsinya.

Sunday, June 16, 2013

IDEOLOGI DAN KAPASITAS BESAR

IDEOLOGI DAN KAPSITAS YANG BESAR Oleh : Misbahurrohim “Kami akan Selamanya berada diluar Pemerintahan”. Itulah sepenggal kalimat yang dikutip dari sebuah situs berita online Republika beberapa waktu yang lalu. Pernyataan ini dilontarkan oleh salah satu organisasi massa Islam yang gencar mengangkat isu ditegakkannya sistem khilafah sejak awal berdirinya organisasi ini. Pertanyaan ini pun muncul,“Menegakkan Islam dengan Demokrasi, Bisakah?’’ menjadi sebuah tema dalam salah satu kegiatan diskusi mahasiswa yang dilaksanakan di Bandung. Nampaknya perdebatan berkaitan dengan masalah ini tidak kunjung berhenti ditengah-tengah perbedaan paham yang menyebabkan setiap klompok gerakan mengambil langkah gerak dan bentuk perjuangan yang berbeda-peda yang pada akhirnya seolah olah kelompok gerakan itu membentuk dua kutub berbeda yang saling menarik satu-sama lain. Yakni mereka yang menerima demokrasi sebagai salah satu langkah perjuangan mereka dan mereka yang mengharamkan demokrasi yang memilih untuk tidak menjadi bagian dari SIstem pemerintahan. Kelompok pertama cenderung terlihat lebih moderat sedangkan kelompok yang kedua kebanyakan orang menilai mereka sebagai kelompok ekstrimis atau kelompok Islam garis keras. Demi Tegaknya Syariat Islam, kita perlu berkaca pada sejarah awal mula tegaknya Syariat Islam di muka bumi yang berujung pada tegaknya khilafah. Dimulai dari eksisnya Kota Mekah ditengah-tengah kekuatan besar Persia dan Romawi hinga runtuhnya kekhalifahan terakhir Turki Utsmani. Ditengah-tengah gagalnya para Pemimpin Negara dalam mengelola kekuasaanya dan membawa Negara-negara mereka pada keterpurukan, Kekhalifahan Turki Utsmani menjadi salah satu pengisi dari sekian banyak catatan sejarah para pemimpin gagal dan Negara gagal. Dakwah sudah berkembang dengan sangat cepat. Dulu kita memahami bahwa awal mula dakwah ini muncul yakni pada masa-masa pembentukan kader-kader inti atau yang kita kenal dengan Mihwar tanjimi. Kini ranah kerja para aktivis dakwah sudah merambah pada ranah politik pemerintahan atau kekuasaan atau yang kita kenal dengan mihwar muasasi/mihwar dauli. Sampainya kita pada fase ini tentunya ketika kita sudah bisa melewati fase-fase sebelumnya. Dimulai pada fase mihwar tanjimi, kemudian berlanjut pada fase dakwah mihwar sya’bi, mihwar muasasi dan mihwar dauli. Pentingnya untuk mengelola sebuah Negara dapat dilihat dari dua sisi, eksternal maupun internal. Pertama, Sisi eksternal yang menyangkut eksistensi Umat Islam di kancah dunia internasional. Suhu politik yang selalu memanas ditimur tengah dan sebagian Negara-negara di Afrika yang mayoritas penduduknya beragama muslim seharusnya bisa membuat kita berkaca diri. Bukankah situasi seperti ini justru yang diinginkan oleh barat agar Negara-negara yang dihuni oleh mayoritas Umat Islam itu terpecah seperti buih ombak di lautan. Pengalaman mereka (barat) telah memberikan mereka pelajaran bahwa kekuatan Islam telah mendominasi seluruh kekuasaan di muka bumi ketika mereka bersatu. Belum lagi menyangkut permasalahan minoritas warga muslim yang tertindas dan diintimidasi bukan hanya secara fisik namun juga legitimasi dari penguasa non-muslim yang menghilangkan atau membatasi hak-hak warga negaranya yang beragama Islam melalui konstitusi yang disusunnya. Belum lagi permasalahan bencana kemanusiaan, kemiskinan dan kelaparan yang menghampiri Negara-negara muslim di belahan Afrika. Kerusuhan dan pertikaan yang mengakibatkan prahara bagi warga muslim Rohingya menambah daftar panjang kekerasan terhadap umat Islam. Bukannya kita tidak peduli dengan masalah yang membuat wajah dunia Islam tampak suram, tetapi kerja-kerja tangan kita belum bisa menjangkau semua itu. Carut-marutnya pengelolaan Negeri ini ini membuat kita berpikir bahwa Kita hanyalah bagian dari entitas diri kita sendiri. Ikatan akidah yang melekat pada diri kita belum bisa membuat ikatan yang cukup kuat antara kita dengan mereka Negara-negara Islam. Nasionalisme seolah-olah menjadi tembok besar yang menghalangi persatuan ummat Islam diseluruh dunia. Respon positif yang kita berikan terhadap Negara-negara Islam hanya berdasarkan pertimbangan rasa kemanusiaan saja atau karena mereka punya hubungan diplomatik dengan kita bukan sebagai satu tubuh dimana satu bagian sakit maka bagian yang lain akan merasakannya. Kedua, Pentingnya mengelola sebuah Negara dilihat pada sisi Internal yang menyangkut pengelolaan seluruh institusi Negara yang ada didalamnya. Menurut Adhyaksa Dault kejayaan atau keruntuhan sebuah negara tidak bisa lepas dari performa seorang pemimpin dalam tiga aspek penting yaitu : Pertama, menegakkan konsepsi ideologis yang menjadi komitmen bernegara. Kedua, menggerakan organisasi kekuasaan pemerintah secara Spartan dan simultan. Dan ketiga, menetapkan strategi-strategi untuk mewujudkan tujuan utama Negara” Keberhasilan kepala negara menjalankan tiga aspek penting diatas menentukan keberhasilannya dalam mengelola suatu negara. Selain itu dengan pengelolaan negara yang baik secara tidak langsung akan mendorong pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam dunia internasional. Ataupun sebaliknya hubungan diplomatik yang dibangun dengan negara-negara asing dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas dalam negeri. Terutama untuk memperkokoh stabilitas perekonomian melalui perdagangan international. Mengenai hal ini Hasan Al-Banna lebih jauh menjelaskan dalam pengertian politik yang dibagi kedalam dua pengertian yaitu politik internal dan politik eksternal Politik Internal yakni mengatur roda pemerintahan, menjelaskan tugas-tugasnya, merinci hak-haknya, dan kewajibannya, mengontrol dan membantu para petinggi agar mereka ditaati jika berbuat baik dan diluruskan jika menyimpang. Politik eksternal yakni menjaga kebebasan dan kemerdekaan umat, menanamkan rasa percaya diri, kewibawaan, dan meniti jalan menuju sasaran yang mulia, yang dengan cara itu umat memiliki harga diri dan kedudukan yang tinggi dikalangan bangsa bangsa lain, membebaskannya dari imperialism dan campur tangan bangsa lain dalam urusannya, dengan menetapkan pola interaksi bilateral maupun multilateral yang menjamin hak-haknya, serta mengarahkan semua negara menuju perdamaian internasional yang peraturan ini mereka sebut hukum internasional. Bagi kita kekuasaan atau negara hanya sebagai bentuk pengejawantahan dari kekuasan Allah Tuhan Semesta Alam saja sedangkan Ideologi yang merupakan sekumpulan nilai dan aturan yang digunakan untuk menjalankan kehidupan sudah tertata rapi dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tinggal bagaimana kita mengelola institusi negara yang ada didalamnya dengan seperangkat kebijakan untuk mewujudkan negara yang adil, makmur dan sejahtera. Namun sungguh sangat disayangkan ketika kehidupan bernegara berjalan tidak dalam kerangka prinsip-prinsip syariah. Hukum, pendidikan dan permasalahan perekonomian dikelola dalam kerangka berpikir manusia dalam bentuk Undang-undang. Tentu semua itu tidak bisa membawa kemaslahatan bagi setiap ummat karena aturan itu dibuat melalui kerangka berpikir manusia yang terbatas. Kadang hanya disusun berdasarkan prasangka, kemudian selebihnya karena ada kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa. Hal ini diperparah dengan hadirnya elit-elit pemerintah yang tidak sepatutnya mengelola negara. Di satu sisi karena moral dan akidah mereka yang lemah sehingga tidak menjadikan agama sebagai pedoman. Di sisi yang lain karena kapasitas mereka yang tidak cukup mumpuni untuk mengeluarkan negeri ini dari berbagai macam persoalan. Akibatnya, kemiskinan dimana-mana. Pemerintah tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada seluruh warganya. Hanya mereka yang punya modal besar yang bisa meraup keuntungan. Yang kaya semakin merajalela mereka yang miskin tetap menjadi-jadi. Asset-asset Negara yang seharusnya sepenuhnya dikelola oleh Negara kini diprivatisasi dan dikelola oleh segelintir orang. Belum lagi mempersoalkan masalah pendidikan yang tak kunjung menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Bukan hanya dari segi kompetensi tapi juga moral dan etika. Akibatnya korupsi merajalela mengakar dari Institusi paling tinggi hingga ke tingkat kepala desa. Hukum bisa dijual beli. Mereka yang divonis bersalah bisa melenggang dengan bebas keluar penjara. Melihat kenyataan bahwa tatanan kehidupan sudah rusak, lantas kita mau seperti ? apakah hanya berdiam diri kemudian mencaci keadaan? Setiap orang pastinya memiliki pandangan yang sama bahwa akar mula semua persoalan di negara ini adalah ketika semua urusan kehidupan bernegara tidak diatur dalam kerangka syariat, tetapi tidak semua orang memiliki pandangan yang sama berkenaan dengan bagaimana mereka akan menegakan Syarit itu. Oleh karena itulah muncul banyak kelompok dengan konsep gerakan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah mereka yang menerima demokrasi dan mereka yang tidak. Anis matta mengatakan bahwa “Ideologi besar membutuhkan manusia besar. Keinginan yang kuat harus ada kapasitas yang besar”. Permasalahan saat ini bukan pada keraguan bagi kita untuk menjalankan syari’at itu sendiri terlebih ketika kita ragu untuk menjalankan syari’at itu dikarenakan bertentangan dengan akal pikiran kita atau menolakknya atas dasar untung atau rugi. Permasalahannya adalah pada soal kapasitas kita untuk bisa menegakkan semua itu dan kesiapan kita untuk menjalankannya secara menyeluruh. Menurut Anis Matta tingkat kesiapan itu dapat kita ukur melalui standar berikut : Adanya komitmen dan kekuatan aqidah pada sebagian besar kalangan kaum muslimin. Yaitu komitmen aqidah yang menandai kesiapan ideologi masyarakat Muslim untuk hidup dengan sistem Islam pada seluruh tatanan kehidupannya. Serta kekuatan aqidah untuk menampilkannya dalam kehidupan di lingkungan secara mempesona. Supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat sehingga muncul kepercayaan umum bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap menyelamatkan bangsa dan negara. Dengan begitu Islam menjadi arah yang membentuk arus pemikiran nasional.. Sebaran kultural yang luas dimana Islam menjadi faktor pembentuk opini publik dan – untuk sebagiannya – tersimbolkan dalam tampilan-tampilan budaya, seperti pakaian, produk kesenian, etika sosial, istilah-istilah umum dalam pergaulan dan seterusnya. Keterampilan akademis yang handal untuk dapat mentransformasikan (legal drafting) ajaran-ajaran Islam kedalam format konstitusi, undang-undang dan derivasi hukum lainnya. Kompetensi eksekusi yang kuat dimana ada sekelompok tenaga leadership di tingkat negara, yang visioner dan memiliki kemampuan teknis untuk mengelola negara. Merekalah yang menentukan – di tingkat aplikasi – seperti apa wajah Islam dalam kenyataan, dan karenanya menentukan berhasil tidaknya proyek Islamisasi tersebut. Kemandirian material yang memungkinkan bangsa kita tetap survive begitu kita menghadapi isolasi atau embargo. Apabila siklus perekonomian tetap dapat berjalan di dalam negeri, maka itu sudah merupakan tanda kesiapan untuk lebih independen. Kapasitas pertahanan yang tangguh, sebab tantangan eksternal yang mungkin kita hadapi tidak terbatas pada gangguan ekonomi, tapi juga gangguan pertahanan. Lihatlah Iraq, misalnya. Begitu ia memiliki sedikit kemampuan militer ia harus menghadapi serangan Amerika sebelum kekuatannya menjadi ancaman. Koneksi internasional yang akan memungkinkan kita tetap eksis dalam percaturan internasional, atau tetap memiliki akses keluar begitu kita menghadapi embargo atau invasi. Tuntutan politik yang ditandai dengan adanya partai-partai politik – bersama publik – yang secara resmi meminta penerapan syariat Islam di tingkat konstitusi. Partai-partai politik itu harus menjadikan Islam sebagai proposal politiknya. indikator ini perlu disebutkan terutama karena kita berbicara dalam konteks demokrasi. Tapi di luar konteks demokrasi, delapan indikator sebelumnya adalah cukup, ditambah dengan tuntutan publik tanpa partai politik. Dari beberapa referensi di atas bisa disimpulkan bahwa bentuk perjuangan yang kita pilih bergantung selain pada tantangan eksternal yang kita hadapi juga begantung pada kapasitas diri kita untuk menanggung segala konsekuensi dari sikap yang kita pilih sekaligus menghadapi tantangan eksternl tersebut. Seorang pemimpin organisasi pergerakan tentunya perlu berpikir keras, disamping ia harus menentukan langkah strategis guna mencapai tujuan utama organisasi, ia juga harus memikirkan bagaimana ia mampu meningkatkan kapasitas organisasi yang dipimpinnya. Jikalau memang saat ini kita hanya bisa menjalankan syariat tidak seutuhnya, memang sperti itulah seharusnya karena kita masih membutuhkan manusia-manusia yang luar biasa yang sedikit demi sedikit namun pasti meletakan pondasi-ponodasi untuk tegaknya syariat di bumi pertiwi. Sumber buku : (Dr. Adhyaksa Dault. 2012. “Menghadang Negara Gagal sebuah ijtihad politik” Jakarta. Renebook: hal 31). "Dilema PKS, suara dan syariah". Burhanudin muhtadi. 2012. jakarta. Gramedia. (Hasan Al-Banna. 2012. “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 2”. Surakarta. Intermedia: Hal 68 & 73) http://www.islamedia.web.id/2012/12/kesiapan-negara-bersyariat.html

Saturday, June 15, 2013

PENDIDIKAN DIRUMAH TANGGUNG JAWAB SIAPA? Sudah hampir dua tahun saya pulang pergi dari kab bogor menuju bekasi dan selama itu pula menyaksikan pemandangan yang sama berulang. kalau anda perhatikan dari sepanjang jalan dari bubulak menuju arah leuwiliang atau jasinga setiap jam pulang sekolah siang atau sore kita pasti menemukan sekumpulnan anak anak sekolah SMP atau SMA dipinggiran jalan hendak menuju suatu tempat. Ciri ciri dari mereka untuk anak laki-laki biasanya memakai jaket atau kemeja dengan ukuran yang cukup besar seperti mode pakaian tahun 80an. disepanjang jalan ini biasanya mereka menunggu angkutan truk dengan muatan kosong untuk mereka tumpangi. Tanpa tanggung tanggung mereka memaksa truk-truk tersebut untuk berhenti dengan cara memasang badan ditengah jalan. Mungkin ada kesan tersendiri bagi mereka, rasa bangga dan hebat ketika berhasil mencegat truk berukuran besar. bahkan dalam kesematan lain anak setingkat sekolah dasar melakukan hal semacam itu. Maka tak heran mereka dipanggil "Anak berani mati".. Hal ni tentunya harus menjadi perhatian serius bagi mereka yang bergelut dalam dunia pendidikan atau mereka yang memiliki perhatian serius dalam membentuk karakter manusia melalui pendidikan. Tentu sudah bisa dipastikan bahwa hal ini merupakan suatu hal yang negatif dan berdampak buruk bagi siswa yang bersangkutan dan juga masyarakat serta dunia pendidikan. Nyawa bisa saja menjadi taruhan bagi si anak dan banyak pihak akan di tuntut. Beberapa waktu yang lalu kita pernah mendengar bahwa pemerintah dan lembaga penyelenggara pendidikan sedang giat-giatnya menggalakkan pogram pendidikan berkarakter dalam rangka membentuk manusia-manusia indonesia yang berlandaskan pada nilai. Namun yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana alat evaluasi hasil belajar siswa dapat menilai karakter yang tumbuh pada diri siswa. terlebih ketika sekolah hanya mampu melakukan evaluasi ketika siswa berada didalam lingkungan sekolah. lantas menjadi tanggung jawab siapa pendidikan siswa ketika berada di luar sekolah? lembaga lembaga pendidikan tentunya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga atau orang tua berkaitan dengan masalah pendidikan anak. Tapi, seharusnya tidak demikian ketika kita ingin membangun sistem pendidikam yang integral. Orang tua seharusnya turut melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa. bukan dari segi kognitif tapi dari segi nilai yang muncul dari anak sebagai hasil dari proses pembelajaran. Orang tua memiliki peran yang penting bagi sekolah untuk membeikan input masukan bagi pihak penyelenggara pendidikan agar terus meningkatkan kualitas pendidikan sehingga output yang dihasilkan benar-benar berkualitas dan berkarakter. Oleh karena itu hendaknya komunikasi antara orang tua murid dengan guru dilakuka secara intens dilakulan. Didalam strukur organisasi sekolah kita mengenal adanya Komite Sekolah yang keberadaanya untuk memfasilitasi masyarakat dalam turut serta meningkatkan kualitas pendidikan. Namum sungguh sangat disayangkan ketika komite sekolah tidak berperan secara optimal dalam meningkatkan kualitas pendidikan. padahal komite ini memiliki peran dalam memberikan pertimbangan, masukan, memberikan pengawasan dan dukungan.