Sunday, June 16, 2013

IDEOLOGI DAN KAPASITAS BESAR

IDEOLOGI DAN KAPSITAS YANG BESAR Oleh : Misbahurrohim “Kami akan Selamanya berada diluar Pemerintahan”. Itulah sepenggal kalimat yang dikutip dari sebuah situs berita online Republika beberapa waktu yang lalu. Pernyataan ini dilontarkan oleh salah satu organisasi massa Islam yang gencar mengangkat isu ditegakkannya sistem khilafah sejak awal berdirinya organisasi ini. Pertanyaan ini pun muncul,“Menegakkan Islam dengan Demokrasi, Bisakah?’’ menjadi sebuah tema dalam salah satu kegiatan diskusi mahasiswa yang dilaksanakan di Bandung. Nampaknya perdebatan berkaitan dengan masalah ini tidak kunjung berhenti ditengah-tengah perbedaan paham yang menyebabkan setiap klompok gerakan mengambil langkah gerak dan bentuk perjuangan yang berbeda-peda yang pada akhirnya seolah olah kelompok gerakan itu membentuk dua kutub berbeda yang saling menarik satu-sama lain. Yakni mereka yang menerima demokrasi sebagai salah satu langkah perjuangan mereka dan mereka yang mengharamkan demokrasi yang memilih untuk tidak menjadi bagian dari SIstem pemerintahan. Kelompok pertama cenderung terlihat lebih moderat sedangkan kelompok yang kedua kebanyakan orang menilai mereka sebagai kelompok ekstrimis atau kelompok Islam garis keras. Demi Tegaknya Syariat Islam, kita perlu berkaca pada sejarah awal mula tegaknya Syariat Islam di muka bumi yang berujung pada tegaknya khilafah. Dimulai dari eksisnya Kota Mekah ditengah-tengah kekuatan besar Persia dan Romawi hinga runtuhnya kekhalifahan terakhir Turki Utsmani. Ditengah-tengah gagalnya para Pemimpin Negara dalam mengelola kekuasaanya dan membawa Negara-negara mereka pada keterpurukan, Kekhalifahan Turki Utsmani menjadi salah satu pengisi dari sekian banyak catatan sejarah para pemimpin gagal dan Negara gagal. Dakwah sudah berkembang dengan sangat cepat. Dulu kita memahami bahwa awal mula dakwah ini muncul yakni pada masa-masa pembentukan kader-kader inti atau yang kita kenal dengan Mihwar tanjimi. Kini ranah kerja para aktivis dakwah sudah merambah pada ranah politik pemerintahan atau kekuasaan atau yang kita kenal dengan mihwar muasasi/mihwar dauli. Sampainya kita pada fase ini tentunya ketika kita sudah bisa melewati fase-fase sebelumnya. Dimulai pada fase mihwar tanjimi, kemudian berlanjut pada fase dakwah mihwar sya’bi, mihwar muasasi dan mihwar dauli. Pentingnya untuk mengelola sebuah Negara dapat dilihat dari dua sisi, eksternal maupun internal. Pertama, Sisi eksternal yang menyangkut eksistensi Umat Islam di kancah dunia internasional. Suhu politik yang selalu memanas ditimur tengah dan sebagian Negara-negara di Afrika yang mayoritas penduduknya beragama muslim seharusnya bisa membuat kita berkaca diri. Bukankah situasi seperti ini justru yang diinginkan oleh barat agar Negara-negara yang dihuni oleh mayoritas Umat Islam itu terpecah seperti buih ombak di lautan. Pengalaman mereka (barat) telah memberikan mereka pelajaran bahwa kekuatan Islam telah mendominasi seluruh kekuasaan di muka bumi ketika mereka bersatu. Belum lagi menyangkut permasalahan minoritas warga muslim yang tertindas dan diintimidasi bukan hanya secara fisik namun juga legitimasi dari penguasa non-muslim yang menghilangkan atau membatasi hak-hak warga negaranya yang beragama Islam melalui konstitusi yang disusunnya. Belum lagi permasalahan bencana kemanusiaan, kemiskinan dan kelaparan yang menghampiri Negara-negara muslim di belahan Afrika. Kerusuhan dan pertikaan yang mengakibatkan prahara bagi warga muslim Rohingya menambah daftar panjang kekerasan terhadap umat Islam. Bukannya kita tidak peduli dengan masalah yang membuat wajah dunia Islam tampak suram, tetapi kerja-kerja tangan kita belum bisa menjangkau semua itu. Carut-marutnya pengelolaan Negeri ini ini membuat kita berpikir bahwa Kita hanyalah bagian dari entitas diri kita sendiri. Ikatan akidah yang melekat pada diri kita belum bisa membuat ikatan yang cukup kuat antara kita dengan mereka Negara-negara Islam. Nasionalisme seolah-olah menjadi tembok besar yang menghalangi persatuan ummat Islam diseluruh dunia. Respon positif yang kita berikan terhadap Negara-negara Islam hanya berdasarkan pertimbangan rasa kemanusiaan saja atau karena mereka punya hubungan diplomatik dengan kita bukan sebagai satu tubuh dimana satu bagian sakit maka bagian yang lain akan merasakannya. Kedua, Pentingnya mengelola sebuah Negara dilihat pada sisi Internal yang menyangkut pengelolaan seluruh institusi Negara yang ada didalamnya. Menurut Adhyaksa Dault kejayaan atau keruntuhan sebuah negara tidak bisa lepas dari performa seorang pemimpin dalam tiga aspek penting yaitu : Pertama, menegakkan konsepsi ideologis yang menjadi komitmen bernegara. Kedua, menggerakan organisasi kekuasaan pemerintah secara Spartan dan simultan. Dan ketiga, menetapkan strategi-strategi untuk mewujudkan tujuan utama Negara” Keberhasilan kepala negara menjalankan tiga aspek penting diatas menentukan keberhasilannya dalam mengelola suatu negara. Selain itu dengan pengelolaan negara yang baik secara tidak langsung akan mendorong pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam dunia internasional. Ataupun sebaliknya hubungan diplomatik yang dibangun dengan negara-negara asing dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas dalam negeri. Terutama untuk memperkokoh stabilitas perekonomian melalui perdagangan international. Mengenai hal ini Hasan Al-Banna lebih jauh menjelaskan dalam pengertian politik yang dibagi kedalam dua pengertian yaitu politik internal dan politik eksternal Politik Internal yakni mengatur roda pemerintahan, menjelaskan tugas-tugasnya, merinci hak-haknya, dan kewajibannya, mengontrol dan membantu para petinggi agar mereka ditaati jika berbuat baik dan diluruskan jika menyimpang. Politik eksternal yakni menjaga kebebasan dan kemerdekaan umat, menanamkan rasa percaya diri, kewibawaan, dan meniti jalan menuju sasaran yang mulia, yang dengan cara itu umat memiliki harga diri dan kedudukan yang tinggi dikalangan bangsa bangsa lain, membebaskannya dari imperialism dan campur tangan bangsa lain dalam urusannya, dengan menetapkan pola interaksi bilateral maupun multilateral yang menjamin hak-haknya, serta mengarahkan semua negara menuju perdamaian internasional yang peraturan ini mereka sebut hukum internasional. Bagi kita kekuasaan atau negara hanya sebagai bentuk pengejawantahan dari kekuasan Allah Tuhan Semesta Alam saja sedangkan Ideologi yang merupakan sekumpulan nilai dan aturan yang digunakan untuk menjalankan kehidupan sudah tertata rapi dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tinggal bagaimana kita mengelola institusi negara yang ada didalamnya dengan seperangkat kebijakan untuk mewujudkan negara yang adil, makmur dan sejahtera. Namun sungguh sangat disayangkan ketika kehidupan bernegara berjalan tidak dalam kerangka prinsip-prinsip syariah. Hukum, pendidikan dan permasalahan perekonomian dikelola dalam kerangka berpikir manusia dalam bentuk Undang-undang. Tentu semua itu tidak bisa membawa kemaslahatan bagi setiap ummat karena aturan itu dibuat melalui kerangka berpikir manusia yang terbatas. Kadang hanya disusun berdasarkan prasangka, kemudian selebihnya karena ada kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa. Hal ini diperparah dengan hadirnya elit-elit pemerintah yang tidak sepatutnya mengelola negara. Di satu sisi karena moral dan akidah mereka yang lemah sehingga tidak menjadikan agama sebagai pedoman. Di sisi yang lain karena kapasitas mereka yang tidak cukup mumpuni untuk mengeluarkan negeri ini dari berbagai macam persoalan. Akibatnya, kemiskinan dimana-mana. Pemerintah tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada seluruh warganya. Hanya mereka yang punya modal besar yang bisa meraup keuntungan. Yang kaya semakin merajalela mereka yang miskin tetap menjadi-jadi. Asset-asset Negara yang seharusnya sepenuhnya dikelola oleh Negara kini diprivatisasi dan dikelola oleh segelintir orang. Belum lagi mempersoalkan masalah pendidikan yang tak kunjung menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Bukan hanya dari segi kompetensi tapi juga moral dan etika. Akibatnya korupsi merajalela mengakar dari Institusi paling tinggi hingga ke tingkat kepala desa. Hukum bisa dijual beli. Mereka yang divonis bersalah bisa melenggang dengan bebas keluar penjara. Melihat kenyataan bahwa tatanan kehidupan sudah rusak, lantas kita mau seperti ? apakah hanya berdiam diri kemudian mencaci keadaan? Setiap orang pastinya memiliki pandangan yang sama bahwa akar mula semua persoalan di negara ini adalah ketika semua urusan kehidupan bernegara tidak diatur dalam kerangka syariat, tetapi tidak semua orang memiliki pandangan yang sama berkenaan dengan bagaimana mereka akan menegakan Syarit itu. Oleh karena itulah muncul banyak kelompok dengan konsep gerakan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah mereka yang menerima demokrasi dan mereka yang tidak. Anis matta mengatakan bahwa “Ideologi besar membutuhkan manusia besar. Keinginan yang kuat harus ada kapasitas yang besar”. Permasalahan saat ini bukan pada keraguan bagi kita untuk menjalankan syari’at itu sendiri terlebih ketika kita ragu untuk menjalankan syari’at itu dikarenakan bertentangan dengan akal pikiran kita atau menolakknya atas dasar untung atau rugi. Permasalahannya adalah pada soal kapasitas kita untuk bisa menegakkan semua itu dan kesiapan kita untuk menjalankannya secara menyeluruh. Menurut Anis Matta tingkat kesiapan itu dapat kita ukur melalui standar berikut : Adanya komitmen dan kekuatan aqidah pada sebagian besar kalangan kaum muslimin. Yaitu komitmen aqidah yang menandai kesiapan ideologi masyarakat Muslim untuk hidup dengan sistem Islam pada seluruh tatanan kehidupannya. Serta kekuatan aqidah untuk menampilkannya dalam kehidupan di lingkungan secara mempesona. Supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat sehingga muncul kepercayaan umum bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap menyelamatkan bangsa dan negara. Dengan begitu Islam menjadi arah yang membentuk arus pemikiran nasional.. Sebaran kultural yang luas dimana Islam menjadi faktor pembentuk opini publik dan – untuk sebagiannya – tersimbolkan dalam tampilan-tampilan budaya, seperti pakaian, produk kesenian, etika sosial, istilah-istilah umum dalam pergaulan dan seterusnya. Keterampilan akademis yang handal untuk dapat mentransformasikan (legal drafting) ajaran-ajaran Islam kedalam format konstitusi, undang-undang dan derivasi hukum lainnya. Kompetensi eksekusi yang kuat dimana ada sekelompok tenaga leadership di tingkat negara, yang visioner dan memiliki kemampuan teknis untuk mengelola negara. Merekalah yang menentukan – di tingkat aplikasi – seperti apa wajah Islam dalam kenyataan, dan karenanya menentukan berhasil tidaknya proyek Islamisasi tersebut. Kemandirian material yang memungkinkan bangsa kita tetap survive begitu kita menghadapi isolasi atau embargo. Apabila siklus perekonomian tetap dapat berjalan di dalam negeri, maka itu sudah merupakan tanda kesiapan untuk lebih independen. Kapasitas pertahanan yang tangguh, sebab tantangan eksternal yang mungkin kita hadapi tidak terbatas pada gangguan ekonomi, tapi juga gangguan pertahanan. Lihatlah Iraq, misalnya. Begitu ia memiliki sedikit kemampuan militer ia harus menghadapi serangan Amerika sebelum kekuatannya menjadi ancaman. Koneksi internasional yang akan memungkinkan kita tetap eksis dalam percaturan internasional, atau tetap memiliki akses keluar begitu kita menghadapi embargo atau invasi. Tuntutan politik yang ditandai dengan adanya partai-partai politik – bersama publik – yang secara resmi meminta penerapan syariat Islam di tingkat konstitusi. Partai-partai politik itu harus menjadikan Islam sebagai proposal politiknya. indikator ini perlu disebutkan terutama karena kita berbicara dalam konteks demokrasi. Tapi di luar konteks demokrasi, delapan indikator sebelumnya adalah cukup, ditambah dengan tuntutan publik tanpa partai politik. Dari beberapa referensi di atas bisa disimpulkan bahwa bentuk perjuangan yang kita pilih bergantung selain pada tantangan eksternal yang kita hadapi juga begantung pada kapasitas diri kita untuk menanggung segala konsekuensi dari sikap yang kita pilih sekaligus menghadapi tantangan eksternl tersebut. Seorang pemimpin organisasi pergerakan tentunya perlu berpikir keras, disamping ia harus menentukan langkah strategis guna mencapai tujuan utama organisasi, ia juga harus memikirkan bagaimana ia mampu meningkatkan kapasitas organisasi yang dipimpinnya. Jikalau memang saat ini kita hanya bisa menjalankan syariat tidak seutuhnya, memang sperti itulah seharusnya karena kita masih membutuhkan manusia-manusia yang luar biasa yang sedikit demi sedikit namun pasti meletakan pondasi-ponodasi untuk tegaknya syariat di bumi pertiwi. Sumber buku : (Dr. Adhyaksa Dault. 2012. “Menghadang Negara Gagal sebuah ijtihad politik” Jakarta. Renebook: hal 31). "Dilema PKS, suara dan syariah". Burhanudin muhtadi. 2012. jakarta. Gramedia. (Hasan Al-Banna. 2012. “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 2”. Surakarta. Intermedia: Hal 68 & 73) http://www.islamedia.web.id/2012/12/kesiapan-negara-bersyariat.html

No comments:

Post a Comment